13 April 2016

Kos-kosan Menyan (1)

Ilustrasi rumah kos yang saya tempati.
Lorong dan kamar mirip seperti gambar diatas.


Tidak bisa di pungkiri kos-kosan dengan tarif murah memang menjadi incaran kami saat itu. Terlebih, bagi kami para calon mahasiswa baru yang akan menempuh pendidikan di kota pelajar itu. Ya, kota Jogja.

Bulan Juni tahun 2007, pagi hari setelah melakukan registrasi ulang di kampus yang berada di tengah-tengah kota gudeg itu, saya kembali ke kos. Kos itu hanya berjarak 3 km dari kampus. Hari ini adalah hari pertama kalinya saya menempati rumah kos tersebut. Saya datang tadi pagi dari kampung yang jaraknya puluhan kilometer dari Kota Jogja. 




Di kos itu saya berkenalan dengan teman baru yang sudah datang sejak dari awal. Ada yang datang sejak dari semalam dan kemarin sore. Adalah Subur dan Budi. Belakangan saya memanggil Budi dengan sebutan Kether. Karena dia sering sekali melakukan aktivitas dengan tangan kirinya. Kecuali untuk makan, Ia menggunakan tangan kanannya.

Hanya butuh waktu sebentar saja untuk saya bisa akrab dengan teman-teman baru saya itu. Tak terasa hari sudah menjelang malam. Lelah serta kantuk pun mulai menyerang kami bertiga setelah seharian beraktivitas di kampus. Kami lalu terlelap pada malam itu, tidak terjadi keanehan pada saat itu. Hanya saja suasana kos yang agak menyeramkan. Karena bangunan dirumah kos itu sudah agak tua dan tak terawat saja.

Pintu utama dari kost tersebut terbuat dengan kayu yang di cat dengan warna cokelat dengan kaca yang sudah agak kusam dan retak di bagian sisi atasnya. Kaca kusam lagi burem itu berada di bagian atas dan bawah dengan di tutupi dua lembar kerei di kanan dan kirinya. Pintu itu ada sepasang; kanan dan kiri, yang menambah suasana rumah semakin menyeramkan.

Perlu diketahui, saya mendapatkan rumah kos tersebut dari seorang makelar kos-kosan yang bekerja sama dengan kampus tersebut. Ternyata Subur dan Kether juga mendapat informasi dari makelar yang sama. Karena kami sama-sama tahu siapa nama makelar itu.




Ya, rumah kos itu memang terlihat sangat menyeramkan bagi siapa saja yang baru pertama kali melihatnya. Dirumah yang menghadap ke utara itu terdapat enam kamar. Empat kamar di ruang depan, diantaranya saling berhadapan. Dua menghadap barat dan yang dua lagi  menghadap ke timur.

Di ruang belakang terdapat dua kamar lagi berjejer menghadap barat. Tepat di dua kamar ruang belakang tersebut terdapat satu kamar mandi yang agak gelap dan lembab menghadap ke timur dan terdapat dapur di sebelahnya. Semua kamar dirumah itu berukuran 3 x 3 meter dengan cat warna hijau dan rata-rata terdapat sarang laba-laba di pojokan atasnya.

Dengan satu lampu di ruang depan dan satu lampu lagi di ruang belakang. Lampu jenis plenthong dengan merek DOP dengan daya 5 watt ini menambah suasana menjadi seram dengan cahaya temaramnya yang sangat khas yang berpadu dengan tembok berwarna kuning. Ditambah dengan bayangan sarang laba-laba disisi tembok itu. Membuat rumah berlantai tegel warna kuning keemasan model jaman dulu itu serasa tak berpenghuni sama sekali.

Keesokan harinya, kami kedatangan teman baru yang nantinya juga akan tinggal di kos kami. Arul namanya, seorang jomblo asal kota Sragen. Ternyata ia penggemar lagu-lagu Sheila On 7. Semua koleksinya ia taruh di handphone Nokia keluaran terbaru itu. Tampaknya dia anak orang kaya dari kampung asalnya. Karena, selain hapenya keluaran terbaru, terlihat dari cukuran rambutnya yang klimis dengan olesan minyak pomade ala-ala anak kekinian saat itu. Tak butuh waktu lama  buat kami untuk saling mengenal dan saling akrab. Lagi-lagi dia tahu info kos dari makelar itu.

"Makelar jancuk!!" Batin saya.




Dari ke enam kamar tersebut, tersisa dua kamar yang belum berpenghuni; dua kamar yang berada di ruang belakang. Mungkin dua kamar tersebut belum laku, karena memang saat itu belum ada media social seperti facebook atau sejenisnya. Hanya friendster dan mIRC yang isinya anak-anak alay jaman dulu. Mungkin kalau sudah ada facebook atau instagram, makelar itu akan pasang iklan di group facebook dan di jamin kamar tersebut laku paling laris di kelasnya, karena harganya yang murah dan tempatnya yang dekat dengan kampus.

Hingga pada suatu malam. Saya, Subur, Arul dan Kether berkumpul di kamar Arul. Seperti yang saya sebutkan tadi, Arul ini sungguh anak orang kaya dari kampungnya, kamarnya selalu wangi akan aroma obat nyamuk semprot merek Vape dan juga lampu kamarnya yang terang. Belakangan saya tahu lampu Arul ternyata merek Philips 20 watt. Di kamar Arul lah kami memutuskan untuk berkumpul sembari bercerita sambil minum kopi khas anak kos, tentu saja kopi sachetan.

"Jenenge wae nge-kos" ujar Arul.

Selain bebas nyamuk, kamarnya juga terang. Kami  membahas kimcil sampai ngalor ngidul. Setelah kami puas ngecuprus, semua dari kami sudah kehabisan bahan untuk membahas kimpet cilik itu.
Lalu kami bercerita tentang misteri dari daerah asal masing-masing dari kami.

Subur yang memulainya, Subur dari Wonosobo bercerita tentang babi ngepet yang meresahkan warga kampungnya. Arul membagikan cerita tentang pocong jadi-jadian yang beredar luas di kampungnya. Kether dari Gombong menceritakan tentang tuyul yang meresahkan warga di desanya. Selama bercerita kita semua merasa bulu kuduk kami merinding. Tak terasa malam sudah larut, kemudian kami kembali ke kamar masing-masing untuk istirahat.

Keesokan harinya saya agak telat pulang kuliah sore itu. Ketiga teman saya sudah asyik mengobrol di kamar Arul. Kether yang suka dengan lagu-lagu Peterpan ini sedang asyik menceritakan pengalaman pertama masuk kuliahnya. Karena baru saja dia berkenalan dengan seorang perempuan di kampus. Rupanya, Kether, selain dia penakut dengan hal yang berbau mistis dia juga seorang pujangga. Dia senang sekali menulis puisi atau syair lagu. Entah itu ditujukan buat siapa.

Sementara Arul hanya diam mendengarkan cerita Kether, sesekali mengangguk-angguk. Saya yang baru datang kemudian ikut bergabung mendengarkan. Lalu, Subur bercerita tentang kenakalan dirinya saat berada dibangku sekolah. Ternyata dulunya dia seorang preman kelas kakap di sekolahnya. Karena dia menunjukkan bekas sabetan gear dan rantai di punggunggnya yang memang benar-benar ada bekas sabetan di punggungnya.

"Nek ra percoyo, nyoh deloken gegerku, sabetan rantai" ucap Subur sambil mengangkat kaos belakangnya.


Kami bertiga serius mendengarkan cerita Subur. Kemudian Kether menyela. “Eh, aku mau mbukak kamar pojokan, njerone serem banget”. Dasarnya penakut, dia tidak mau menanggung rasa takutnya itu sendirian. Lalu dia mengajak kami bertiga untuk melihat kamar pojokan itu. Kami berempat bergegas menuju kamar yang berada persis di depan kamar mandi itu. Kamar itu memang tidak di kunci oleh sang pemilik kos. Pemilik kos berada jauh dari tempat kos kami ini.

Kami kaget, mak jegagik. Di dalam kamar dengan cat warna hijau tua itu terdapat lukisan aneh seperti perpaduan antara sebuah laut dan sebuah gunung serta seekor kuda berwarna coklat tua. Lukisan itu langsung dilukis di tembok selebar 3 meter itu. Di tambah dengan tidak adanya lampu dan kamar yang lembab menambah suasana kamar itu semakin seram dan menakutkan. 

Mungkin diantara kami berempat tidak ada yang berani tidur sendirian di kamar itu. Saya yakin, dalam pikiran mereka bertiga mereka pasti teringat dengan sosok Nyi Roro Kidul, karena lukisannya yang seperti itu. Benar saja. Subur langsung nyeletuk

“Koyo kamar Nyi Roro Kidul ki lukisane”, dengan bahasa khas Wonosobo-nya. 

Saat itu juga kami berempat merasakan bau mak sriwing-sriwing seperti bau kemenyan. Ya, bau kemenyan yang sangat khas. Tanpa basa-basi kami berempat langsung lari menuju ruang depan.

Sikaaaak!!  Teriak Subur.




Sejak saat itu kami tidak berani menuju ruang belakang sendirian. Untuk ke kamar mandi saja kami harus ada yang menemani. Karena kamar itu berada tepat di depan kamar mandi. Subur yang seorang preman saja tidak berani.

"Preman kok raiso diandalke!" Kether menggerutu.

Hari berganti hari telah kami lalui. Kami mendapat cerita dari tetangga kanan kiri, bahwa memang rumah yang kami tempati tersebut pernah ada korban saat gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada 2006 lalu. Ya, gempa bumi dengan kekuatan 5.9 SR dan berlangsung selama 57 detik itu mengguncang Jawa Tengah dan Yogyakarta pada 27 Mei 2006 memakan korban tewas sebanyak 6.234.

Salah satunya di rumah kos tersebut yang katanya sebanyak dua orang. Seketika kami langsung mengkeret, mak tratap, mendengar cerita itu. 

Rumah ini memiliki dua lantai. Lantai dasar dan lantai atas. Memang di lantai atas seperti terlihat bekas tembok yang sudah roboh, sepertinya dulu ada dua kamar di lantai atas ini. Sekarang yang tersisa hanya satu kamar mandi ukuran 2 x 2 meter yang temboknya sudah di penuhi lumut. Kamar mandi itu berada di sebelah barat di lantai atas tersebut.

Sejak mendengar cerita itu, saat malam hari kami berempat tidur di kamar Arul. Karena tidak ada yang berani tidur sendirian di kamar masing-masing.

Hingga pada tengah malam, saat kami tidur di kamar Arul. Kether membangunkan kami bertiga. 

“Heh, tangio. Kae ono suoro opo?" bisiknya lirih, dengan logat khas Gombong. 

Lalu kami bangun dengan mata yang masih belum terbuka sempurna, kami mencoba perhatikan suara yang Kether maksud itu.

Tak lama kami mendengar suara "krek krek krek." Seperti suara orang sedang menggores-goreskan dengan benda tajam ketembok sesekali terdengar suara orang sedang berjalan pelan. Kether yang dasarnya penakut terlihat sangat ketakutan sekali. Ia ndredeg seketika. 

Pelan-pelan kami perhatikan suara itu, ternyata sumbernya dari ruang belakang. Semakin merinding bulu kuduk kami berempat.

Kami berempat mencoba mengecek kamar yang ada lukisan pantai dan gunung itu. Dengan bermodalkan telepon genggam yang ada senternya. Kami mencoba masuk kamar itu, tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu yang aneh. Hanya terlihat lukisan yang aneh itu. Kami masih penasaran, dengan tenang kami memperhatikan lagi suara itu. 

Suara itu masih ada tapi terdengar agak pelan. Ternyata suara itu bersumber dari kamar yang kosong satu lagi yang ada di sebelahnya.

Subur yang dasarnya preman, ternyata masih punya sopan santun. Dia mengetuk pintu kamar itu tiga kali, dengan pelan. Sesaat setelah ketukan yang ke tiga selesai, pintu langsung terbuka sendiri.

"Asuuuuu!!!" Teriak Subur kaget karena melihat pintu terbuka. 

Kami berempat kaget.




Ternyata orang yang membukakan pintu tadi adalah makelar yang selama ini mencarikan kos untuk kami. Fadli namanya.

"Asemiiik!!"  Sergah Arul.

Jadi, Fadli ini tinggal di kos kami lebih dulu ketimbang kami berempat, kira-kira selisih dua mingguan sebelum kami. Selama beberapa hari kami tinggal disitu, kami memang belum pernah melihat beliau berada di kamarnya. Hanya satu kali saja saat di kampus waktu pertama kali kami bertemu dengannya. Selama ini dia pulang ke kampungnya, baru tengah malam ini dia datang saat kami berempat sedang terlelap tidur.

Suara tadi ternyata suara Fadli saat sedang ingin memasang lampu bohlam di kamarnya. 

Sejak dari pertama dia menempati kamar itu, lampu kamarnya mati dan belum diganti.

"Wooo. Makelar kok raiso tuku lampu!!!" Canda Subur

Seketika itu, kami berlima tertawa.


Sejak saat itu kami menamai kos itu dengan nama Kos-kosan Menyan.


***
Baca kisah Kos-kosan Menyan yang lain:

Kos-kosan Menyan (1)
Kos-kosan Menyan (2)
Kos-kosan Menyan (3)

Kos-kosan Menyan (4)